kolonikata-katasekutunyaMJ
woman from chinnatown
Minggu, 15 Januari 2012
Rabu, 11 Januari 2012
2. LULU dan JI-HO
Pohon itu tak begitu lebat daunnya, tapi berhasil menyembunyikan
sosoknya di dahannya yang kurus. Ji-Ho, monyet jenis capuchin dengan bulunya
yang berwarna hitam putih dan ekor yang panjang sedang mengamati dengan matanya
yang besar berwarna kuning terang. Di bawah sana ia terpukau dengan sosok-sosok
yang jauh berbeda dengan dirinya. Sekelompok manusia menebas-nebas semak
belukar, membuka jalan untuk semakin masuk kedalam hutan. Ia tak begitu asing
akan kehadiran manusia–manusia itu, karena ini bukan kali pertamanya ia melihat
mereka. Manusia-manusia itu bersama seekor monyet berbulu belang yang kini
telah cukup akrab dengannya. Walau sama-sama monyet, ia dan monyet belang itu
jauh berbeda. Ji-Ho terlihat sama seperti monyet-monyet sejenisnya yang hidup
di hutan, sementara monyet belang itu hidup bersama manusia. Menurut Ji-Ho
pribadi, temannya itu seperti diperbudak oleh manusia-manusia itu, berulang
kali ia melihatnya selalu disuruh-suruh. Tapi si monyet belang tak pernah
protes akan hal itu, ia bahkan bangga dengan seutas tali yang mengalungi leher
kurusnya. Terlebih saat ia mengatakan bahwa tali itu adalah sebuah tanda kasih
sayang pemberian seorang manusia yang memberikannya makan serta hidup
bersamanya.
Seperti biasa si monyet
belang menyapa dan mengajaknya untuk dipelihara oleh manusia. Sempat terlintas
di benaknya untuk menerima ajakan itu tapi ia harus memutar otak untuk berani
melakukannya, lagipula ia kurang begitu suka dengan perilaku manusia-manusia
itu. Ia memang mengagumi fisik makluk berkaki dua itu, tapi bila sampai diperbudak
oleh mereka, tidak.
Lagi-lagi si monyet belang
diperlakukan kasar oleh seorang manusia, tak peduli temannya itu kelelahan,
manusia itu memaksanya memanjat sebuah pohon untuk sekedar melihat apakah di
atas sana banyak burung yang beterbangan. Ji-Ho marah melihat itu, ingin
rasanya ia membawa si monyet belang dan melemparkan manusia-manusia itu keluar
hutan. Tapi mau bagaimana lagi, hal itu takkan bisa ia lakukan karena ukuran
tubuhnya yang kecil.
Ia menatap sedih monyet
belang, dan setelah turun dari pohon itu, buru-buru Ji-Ho menghampirinya dan
membawakannya sebuah pisang yang lezat.
“Ini makanlah.” ucapnya
sambil melirik wajah monyet belang yang kelelahan.
“Terima kasih!”
Lalu monyet belang itu
membuka kulit pisang, memakan isinya sampai habis.
“Bagaimana sekarang – kau
ingin lari dari mereka?” tanyanya menatap serius si monyet belang lalu melirik
manusia-manusia itu dengan berang.
“Tidak – sebenarnya mereka
baik, hanya saja kali ini kami sedikit mendapatkan buruan.” balas si monyet
belang dengan wajah tersenyum kecut.
“Memangnya kalau buruannya
sedikit, kesalahan akan ditimpakan padamu?”
Monyet belang buru-buru
menggelang tak setuju.
“Aku tahu kenapa kau marah
begitu, tapi aku lebih senang tinggal dengan mereka dibandingkan dengan para
monyet-monyet di dalam sana yang kesehariannya sungguh-sungguh membosankan. Kau
kan sendirian di sana, mereka juga tidak peduli padamu, kenapa tidak ikut
denganku saja. Kalau kau ikut dengan kami, kau tak perlu memusingkan bagaimana
mendapatkan makanan, karena ditempat mereka makanan kesukaan kita melimpah dan
mereka pun tidak protes bisa kita menghabiskan segebok pisang.
“Ah sudahlah, walau seribu kali kau membujukku
untuk menjadi peliharaan mereka, aku tetap saja tidak mau. Kau temanku dan
sekali lagi kuyakinkan padamu, bahwa perlakuan mereka padamu itu sudah keterlaluan.
Kenapa sih kau bisa tahan dengan mereka?” ujar Ji-Ho.
Si monyet belang tidak
membalas.
Saat itu juga manusia yang
memaksa si monyet belang tadi berjalan menghampiri mereka, buru-buru Ji-Ho
memanjat sebuah pohon terdekat, lalu berhenti pada sebuah dahan. “Kalau kau
sudah bosan menjadi peliharaan mereka dan ingin kembali merasakan tinggal di
dalam rimba, cari saja aku. Aku bisa membantumu!” teriaknya dengan bahasa
monyetnya lalu menyelinap dari dahan-dahan pepohonan.
*
* *
Di dalam hutan, sekelompok
monyet yang sama jenisnya dengan Ji-Ho sedang mempersiapkan diri untuk besok.
Besok monyet-monyet seumurnya akan menghadapi upacara pendewasaan, termasuk
dirinya. Ia malas harus mengikuti aturan di kelompoknya itu, tapi mau bagaimana
lagi, selama ia berada di wilayah kelompok itu, ia harus menuruti aturan yang
ditetapkan oleh si pemimpin. Terkadang ia membandingkan dirinya dengan si
monyet belang. Di luar hutan sana, si monyet belang mungkin sedang menikmati
segebok pisang seperti yang ia katakan tadi siang, sementara ia hanya
menggerutu dalam hati.
Beberapa monyet seumurnya
sedang berbincang-bincang di bawah pohon, membuat sebuah lingkaran yang
berpusat pada seekor monyet yang lebih kecil dari yang lainnya. Monyet itu
Teom, anak dari si pemimpin kelompok, sama seperti ayahnya, tubuhnya kecil
namun mulutnya selalu bicara besar. Besar karena selalu menyimpan kata-kata
sombong yang siap ia lontarkan pada siapapun – kecuali keluarganya. Monyet-monyet
lain bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan esok hari padanya. Upacara
pendewasaan memang memiliki rintangan yang tak mudah, dan itu membuat mereka
cemas dan ketakutan.
“Ayahku bilang rintangan yang
akan kita hadapi besok adalah melewati sungai kadal berduri!” serunya.
“Sungai yang dihuni
buaya-buaya buas itu?” pekik seekor monyet betina.
“Ya! Dan melewati sungai itu
ada caranya!” ujar Teom sok tahu.
“Apa?” tanya seekor monyet lain
di sampingnya penasaran.
“Kita harus memakai galah
untuk lewat sana. Dan apa kau tahu bagaimana kalau kau jatuh tepat ke bawah
sungai?” ujarnya sambil menatap remeh monyet-monyet lain, seolah-olah hanya
dirinya yang akan berhasil menghadapi rintangan itu.
“… Badan kita akan
dicabik-cabik oleh gigi runcing mereka … dan mati! Tidak. Aku tidak mau
begitu!” tukas si monyet betina tadi gusar sambil menatap temannya di samping.
“Memangnya tidak ada
rintangan yang lain selain itu?” tanya seekor monyet yang baru bergabung.
“Ya! Rintangan itu terlalu
berbahaya, bagaimana kalau kita kehilangan nyawa!” seru monyet lain lalu
berlanjut dengan seruan protes para monyet padanya.
“Mana aku tahu, hanya orang
yang hebat yang bisa melakukan itu semua, dan asal kalian tahu saja, ayahku
sudah berpuluh-puluh kali melatihku. Dan sebaiknya kalian mencontoh aksiku besok.”
ujar Teom sombong sambil mengacak pinggang berbulunya.
Semua monyet khawatir,
beberapa ada yang meminta petunjuk pada Teom dengan wajah menjilat, beberapa
yang lain ada yang berencana untuk mengundurkan diri, dan sisanya menangis
histeris. Kebanyakan yang menangis adalah monyet betina.
Saat suasana semakin riuh,
sesosok monyet jantan dengan tubuhnya yang kurus dan tinggi menerobos
monyet-monyet itu. Tangannya yang panjang terangkat ke atas, ia membuka
mulutnya lalu berteriak meminta para monyet tenang dan mendengarkan ucapannya.
“Semuanya tenang – yang dia
katakan tak sepenuhnya benar!” ujarnya. Dia Warabi, kakak Teom. “Bagi kalian
yang tidak cukup berani untuk melakukan upacara pendewasaan besok diperkenankan
untuk mengundurkan diri dan bisa mengulang upacara pendewasaan tahun depan.
Tidak ada paksaan untuk ini, jadi terserah kalian saja!” serunya lalu menyikut
perut Teom.
“Teom menatapnya sebal sambil
mengusap-usap perutnya yang sakit.
“Kau pergilah sana, kau hanya
membuatnya menjadi masalah!” tuntut Warabi pada adiknya itu.
Dengan terpaksa Teom naik ke
sebuah pohon lalu bergelayutan menatap kakaknya di bawah sana. Saat ia hendak
naik ke atas dahan yang lain barulah ia sadar ada Ji-Ho yang dari tadi duduk
disana, di pohon yang sama.
“Sejak kapan kau disini,
busuk!” ujarnya angkuh.
Ji-Ho diam menatap Teom, ia
memang kurang begitu suka dengannya, terlebih ayahnya. Ia meloncat pada pohon
terdekat, menatap Teom lagi. “Yang jelas lebih lama daripadamu!” ujarnya, lalu
meraih dahan-dahan didepannya. Meninggalkan monyet kecil itu di dahan yang
barusan ia tempati.
Jauh dari riuh para
monyet-monyet di belakang sana, Ji-Ho berhenti berayun-ayun, ia memegangi
lengannya yang kelelahan, di dekatnya banyak monyet-monyet tua dengan anak-anak
mereka yang masih balita. Ada yang tengah bersosialisasi sesamanya, ada yang
sedang memberikan kasih sayang dengan mencari kutu-kutu yang tersembunyi di
bulu-bulu lebat mereka, dan setelah menemukannya, lalu mereka memakannya. Hal
itu terjadi berulang-ulang dan bergantian. Namun hal itu sangat jarang terjadi
pada dirinya. Ia tak punya sanak saudara yang bisa mencarikan kutu di tubuhnya,
kecuali monyet sepuh yang sudah ia anggap sebagai pengganti orang tua. Karena
itu waktu-waktu luangnya lebih sering ia gunakan untuk mendengarkan cerita si
monyet tua yang sering dipanggil oleh monyet-monyet lain dengan julukan “Baba”.
Saat itu Baba tengah mengumbar cerita-cerita pada monyet-monyet kecil,
cerita-cerita yang dilontarkannya sangat tak masuk akal bagi banyak monyet lain. Tak jarang beberapa
induk-induk monyet buru-buru membawa anak-anaknya menjauhi Baba. Takut bila si
monyet tua itu membawa pengaruh buruk bagi anak-anak mereka.
Ji-Ho tak tahu apa yang harus
ia kerjakan, dari pagi sampai tengah hari telah ia habiskan untuk mengisi
perutnya. Karena itulah ia menghampiri Baba yang berayun-ayun dari satu dahan
ke dahan lain tak tentu arah.
“Baba, maukah kau melanjutkan
ceritamu yang ‘itu’?” cetusnya.
“Yang ‘itu’ mana?” jawab Baba
heran.
“ Tentang saat kau dahulu
menjadi manusia?”
Baba berhenti berayun, ia
menoleh ke arah monyet yang menyapanya itu.
“Tentu, selama aku punya
waktu dan mulut ini masih mampu berucap, sudah pasti aku dengan senang hati
menceritakannya padamu – tapi sesekali bawalah seorang teman untuk mendengarkan
ceritaku.” balasnya.
“Baba sendiri tahu aku tidak begitu
bisa bergaul, semuanya sibuk dengan saudara mereka.” terangnya pada si monyet
sepuh.
“Itu karena kau selalu
bersamaku – tapi kalau tidak ada kau, aku sendiri akan kebingungan karena tak
ada yang mendengarkan aku bercerita.” sahutnya kembali berayun ke sebuah dahan
pohon yang besar dan gemuk. “Ikut aku, kali ini aku akan menceritakan
pengalamanku itu selengkapnya padamu!” serunya sambil melintasi dahan dari
pepohonan-pepohonan yang ditempati beberapa keluarga monyet lain. Diantara
banyak keluarga, tak disengaja ia bertemu dengan sang pemimpin kawanan monyet.
“Oi bocah! kau mau kemana – mendengarkan
bualannya lagi?” ujar Gemrouth. Badannya kecil gemuk, dan dia sedang mencari
kutu di punggung Wanggari, isterinya yang besar dan subur, lehernya dipenuhi
kalung yang terbuat dari biji kenari. Tangan kirinya menggenggam botol bekas dengan
posisi terbalik. Botol itu terbuat dari kaca berwarna hijau yang ia dapatkan
dari kera-kera di hulu sungai yang selalu membawa barang-barang yang dibuang
oleh para manusia. Dan dari kera-kera itulah, Wangari mendapatkan beberapa
barang yang membuatnya selalu bersolek di manapun.
Merekalah orang tua Teom dan Warabi. Keluarga
monyet itu memang unik, saat mereka berdiri bersamaan, tubuh mereka begitu
menarik perhatian untuk ditengok. Ibunya yang paling besar diantara yang lain, perangainya
yang kasar juga pemarah menyabotase tempat kepala keluarga dari si ayah yang juga
gemuk tapi lebih pendek dan kecil darinya. Sementara anak pertama mereka,
monyet jantan dengan tubuh sekurus batang bambu bernama Warabi menjadi wali
dari si induk. Sisanya Teom yang sama kecilnya dengan si ayah yang sepertinya
akan tumbuh benar-benar menyerupainya.
Ji-Ho tak membalas, dari dulu
ia dan Baba selalu menjadi bahan olokannya. Kadang ia memimpikan sesuatu hal
hebat yang akan terjadi padanya, dan bila saat itu tiba ia bisa menunjukkan
rasa ketidaksukaannya pada si pemimpin itu. Tapi entah kapan itu terjadi, ia
sendiri tidak tahu. Ia hanya bisa berharap sambil menebalkan telinganya saat si
pemimpin dan anaknya mulai bertingkah.
Ia berayun-ayun mengambil ancang-ancang pada
sebuah dahan lalu melepaskan tangannya ke dahan yang lain. Di belakang, suara Gemrouth
sang pemimpin kawanan para monyet memakinya sambil tertawa terbahak-bahak tepat
di telinga Wangari yang mencuat.
“Aku memintamu untuk mencari
kutu, bukan untuk membuat telingaku tuli, bodoh!” bentaknya pada Gemrouth.
Buru-buru Gembrout menutup
mulutnya rapat-rapat dengan wajah masam, lalu kembali ke posisinya semula, memainkan
jari-jarinya yang panjang ke punggung penuh lemak istrinya sambil menoleh ke
arah Ji-Ho yang mengejar Baba.
“Kita mau kemana?” tanya
Ji-Ho. Ia tidak begitu peduli ucapan-ucapan yang selalu diserukan oleh
monyet-monyet lain, sama halnya dengan Baba, lagipula ia berpikir tak ada
untungnya memasang telinga monyetnya hanya sekedar mendengarkan ucapan mereka
yang tak penting itu.
“Ada sebuah tempat yang cocok
untuk kita berbincang, dan sebentar lagi kita akan sampai di tempat itu.” sahut
Baba di depan sambil berayun penuh semangat.
Di depan sana si monyet tua
memandu arah, sementara ia mengikutinya dari belakang. Pikirannya dipenuhi rasa
ingin tahu karena ia belum pernah melewati kawasan hutan ini. Pepohonan teramat
sangat lebat, bahkan dahan-dahan pohon yang biasanya mudah ditemui kini sulit
dijangkau karena berhimpitan dengan batang pohon yang tumbuh berdampingan,
seolah-olah tak lera bila sinar matahari menembus dan jatuh di tempat itu
Semakin jauh Baba meraih
dahan demi dahan, semakin bingung hatinya. Rasanya ia ingin kembali ke
tempatnya semula, namun sebelum ia protes pada monyet tua di depannya itu, Baba
berhenti berayun dan mendarat pada sebuah dahan pohon besar dan berteriak
padanya.
“Kemarilah – kita sudah
sampai, kau pasti suka tempat ini!” serunya pada Ji-Ho yang bergantung pada
sebuah dahan kelelahan. Tempat itu memang strategis untuk mengintai hutan di seberang
sana. Tepat di bawah mereka mengalir sungai yang bermuara ke bukit-bukit. Dan
di mulut sungai itu ada beberapa buaya yang tak menyadari keberadaan mereka.
Tinggal satu dahan lagi yang
akan membawanya di tempat Baba, tapi dahan itu cukup jauh untuk ukuran
tubuhnya, maka dari itu ia kembali mengambil ancang-ancang, berayun berulang
kali dan akhirnya mendarat tepat di samping Baba yang menunggunya.
“Aku yakin kau belum pernah kemari.” ujar
Baba membusungkan dada penuh bangga
“Lihat disana. Tempat kita
berdiri ini adalah tempat tertinggi yang bisa kutemukan. Tapi dibandingkan
dengan tempat kita sekarang, pohon di sana itu jauh lebih besar. Amat sangat
besar.” Serunya sambil menunjukkan sebuah pohon di hutan seberang sana yang
begitu mencolok dengan ukurannya yang jumbo dan dipenuhi oleh dedauan yang
lebat. Pohon itu seolah bertingkat-tingkat dengan dahannya yang memiliki jarak
pada setiap ruas batangnya.
“Baba pernah kesana?” tanya
Ji-Ho penasaran saat melihat pohon itu dengan takjub.
Buru-buru monyet tua itu mengangkat
bahunya yang dipenuhi bulu. “Hanya sekali – dan bila ada kesempatan kedua
kalinya, aku tidak mau, karena aku tidak mau memakai nyawaku ini hanya untuk
hasrat seperti masa mudaku dulu. Tapi tempat itu sangat aneh dan asing, aku
sendiri kurang begitu bisa memahaminya.”
“Memangnya disana ada apa?”
“Disana ada banyak hal yang
tidak ada di tempat ini, dan kurasa tak banyak yang berani berkunjung ke sana.”
balas Baba sambil memalingkan wajahnya dari pohon itu seolah-olah ingatan masa
mudanya kembali terkuak dan itu membuatnya terganggu.
Ji-Ho membisu menatap si
monyet tua lalu kembali menatap pohon raksasa itu penuh tanya.
“Tapi disanalah aku menemukannya!”
Baba mulai kembali berbicara setelah cukup lama membisu.
“Apa? apa yang Baba temukan
disana, Harta karun?” tanya Ji-Ho menuntut penjelasan.
“Harta Karun? Bah kau kira
kita para monyet tertarik dengan barang-barang seperti itu. Barang yang selalu
diimpikan oleh para makluk berkaki dua dan menjamur dimana-mana itu? Bukan.
Bukan harta karun yang aku temukan disana, tapi sesuatu yang ganjil dan seolah-olah
berasal dari dunia yang entah darimana asalnya!”
Ji-Ho mengangkat kepalanya,
mencoba menerka-nerka apa yang dimaksud oleh Baba, tapi ia tak berhasil
menemukannya.
“Lalu apa?” tanyanya.
“Disana aku berubah wujud
menjadi manusia!” jawab Baba memelototkan bola matanya.
Ji-Ho mengkerutkan keningnya
tak percaya. “Yang benar?” ujarnya
“Ya – tentu saja, kalau kau
tak percaya, kau bisa mencobanya sendiri. Tapi sebaiknya kau hati-hati karena
tempat itu seperti candu yang bisa menahanmu untuk tinggal selamanya disana.”
“Kalau begitu kenapa Baba
bisa keluar dari sana?”
Baba mendesah panjang sambil
menggaruk-garuk bulu tipis di pipinya yang alot. “Ceritanya panjang, panjaaang
sekali. Dan kurasa kau tidak sepenuhnya percaya padaku. Bukan begitu?”
“Ya – memang, tapi lain
halnya dengan cerita Baba yang ini. Kurasa rasa penasaran cukup untuk membuatmu
melanjutkan ceritanya padaku.”
“Ya ya ya – kau satu-satunya sahabat
kecilku yang selalu mendengarkan ceritaku, dan sekarang aku akan
menceritakannya padamu.” ujar Baba. Ia berdeham, menguap, menarik nafas lalu
mulai membuka mulutnya yang lebar. “Saat aku muda, kira-kira seumurmu, aku banyak menghabiskan waktu untuk
menjelajahi tempat tinggal kita ini, dan sampai pada suatu hari yang sangat
panas dan membosankan. Hampir semua wilayah di hutan ini sudah pernah
kukunjungi, tapi sebaliknya dengan wilayah hutan bagian sana. Bukan hanya
karena pohon raksasa itu yang membuatku tertarik untuk menjelajahinya – apa
yang ada di hutan sana juga membuatku ingin mencari tahu. Tapi kau sendiri tahu
untuk mencapai daerah sana, ada sebuah sungai yang didiami oleh para buaya yang
selalu kelaparan. Dan aku tentu tidak bodoh untuk melewati sungai mengerikan
itu, aku menunggu saat kawanan burung bangau menepi untuk melepas dahaga. Dan
saat itulah aku menyelinap diam-diam dan akhirnya aku berhasil melewati sungai
itu. Tidak sampai di situ saja rintangannya, di sana, di hutan seberang sungai
itu, ada banyak makhluk-makhluk yang belum pernah kulihat dalam hidupku. Walau
pada awalnya aku khawatir bila mereka akan mengangguku, tapi ternyata tidak.
Bahkan dengan ramah tamah mereka mengundangku dan mengajakku
berbincang-bincang. Dari merekalah aku mengetahui bahwa ada sebuah tempat di
dalam hutan itu yang bisa membuat impian kita menjadi kenyataan. Aku tidak
langsung percaya begitu saja pada mereka. Tapi karena ada satu dari mereka yang
bersedia menunjukkan arah ke tempat itu. Penasaran, akupun setuju dengannya dan
sesampainya aku di sana, aku begitu terpukau pada sebuah pohon raksasa yang
sekarang di sana itu.” seru Baba sambil mengangkat tangannya yang bengkok.
Pohon itu sangat besar – dan di batangnya ada sebuah lubang yang menyeruakkan
wangi bunga yang semerbak. Dari lubang itu aku masuk, dan tebak apa yang ada di
dalam sana?” tanya Baba.
Ji-Ho menggeleng tak tahu.
“Ahh, kau ini. menebak begitu
saja tak mampu!” Baba mendesah, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ji-Ho yang
lebih kecil. “Di dalam sana adalah tempat tinggal para peri, apa kau tau peri?”
“Peri? Maksudmu
kunang-kunang?” balas Ji-Ho yakin dengan jawabannya.
“Bukan – kunang-kunang
hanyalah makhluk payah dan tak bisa di bandingkan dengan pesona yang dimiliki
oleh mereka bangsa peri. Peri memiliki tubuh yang menyerupai manusia. Hanya
saja mereka seukuran capung, dan mereka juga memiliki warna sayap yang
berbeda-beda dan setahuku tak ada satupun yang memiliki warna sayap yang sama. Di
pohon itu mereka hidup bersama para semut dan saling membantu satu sama lain. Saat
aku masuk di dalam pohon itu, aku disambut dengan meriah. Mereka menyuguhkan
makanan yang tak pernah kulihat sebelumnya, dan kurasa mereka yang di kawanan
kitapun tak pernah melihatnya!” Baba kembali menarik nafas yang panjang. “Sekarang
aku kurang begitu mengingatnya. Satu yang kuingat dari makanan itu adalah bentuknya
yang berupa butiran-butiran berwarna emas dan perak yang empuk. Rasanya lebih
enak dibandingkan pisang yang kita makan, dan saat kau menggigitnya kau akan
merasakan kesegaran yang luar biasa, kau pun menjadi wangi dan dari dalam tubuh
terpancar energi yang luar biasa. Di sana aku tak tahu telah menghabiskan waktu
berapa lama, dan saat aku hendak pergi dari tempat itu mereka tidak
mengijinkannya dan malah menyuguhkan makanan lebih banyak lagi. Akupun menunda
kepulanganku sampai mereka memperlihatkan sesuatu benda polos lebar yang
terpasang di sekeliling dinding pohon, benda itu memantulkan bayangan kita. Aku
diberitahu bahwa benda itu bisa mengubah sosok siapapun menjadi apapun sesuai
pikiran kita. Mereka memberikan intruksi padaku, akupun mengikutinya. Mereka
menyuruhku berdiri di depan benda itu sambil mengucapkan sosok yang aku
inginkan tiga kali dalam hati, aku memejamkan mataku sambil menyentuh benda
itu. Dan saat aku membuka mataku, aku melihat sosok manusia di benda itu,
akhirnya aku sadari sosok itu adalah aku, aku kegirangan dan akupun ingin
memperlihatkannya pada monyet-monyet lain. Sayangnya saat aku berlari keluar
dari pohon itu, sosok manusiaku tiba-tiba kembali menjadi monyet. Aku bingung
dan saat aku hendak kembali masuk ke dalam pohon, aku sama sekali tak menemukan
lubang yang membawaku masuk ke dalam. Berulang kali aku mencoba mencari-cari lubang
itu tapi hasilnya nihil, pohon itu tak ada bedanya dengan pohon-pohon lain,
hanya ukurannya yang besar.
“Memangnya para peri itu tidak melarangmu
untuk keluar?” tanya Ji-Ho.
“Aku keluar saat mereka
sedang terlelap.” balas Baba merunduk. “Sampai sekarang aku begitu menyesal.”
Ji-Ho terdiam, benaknya
sedang mencerna cerita yang baru di dengarnya itu.
Di ujung bukit sana, matahari
mulai bersembunyi di cakrawala, menyisakan sinar-sinarnya yang menembus kanopi
hutan dan membuat sungai di bawah pohon yang mereka tempati berkilau keemasan.
Sungai itu mengingatkannya pada upacara pendewasaan, buru-buru Ji-Ho memalingkan
wajah dari sana. Dari arah berlawanan muncul bulan sabit walaupun senja masih
tergantung di atas hutan rimba.
Seekor burung hantu hinggap
di sebuah dahan kurus di atas mereka, Baba menatap si burung hantu itu, lalu
mengajak Ji-Ho kembali ke tempat mereka.
Beberapa makhluk malam mulai
memperlihatkan keberadaan mereka, dan kedua monyet itu pun pulang sambil
berayun-ayun dari dahan ke dahan.
BERSAMBUNG ...
BERSAMBUNG ...
LULU dan JI-HO
1. PELARIAN
Kicauan burung belum begitu nyaring terdengar. Di luar sana mentari pun
enggan untuk memperlihatkan sosoknya yang bersinar karena jadwalnya untuk
tampil belum tiba. Kokok ayam jantan meredam langkah kaki kecilnya yang
berbalut sepatu merah pudar. Menjelang pagi gadis kecil itu mengendap-endap di
sisi pintu lalu membukanya sedikit, matanya menatap ke segala arah dengan
cemas, lalu ia menghembuskan nafas panjang dan berbalik menatap di belakangnya,
di sana ada teman-temannya yang tengah terlelap dengan mimpi mereka
masing-masing. Tak ada rasa sedih akan meninggalkan tempat ini baginya, ia
malahan bangga bila pelariannya kali ini akan berjalan lancar. “Seharusnya mereka
percaya dan mau bekerja sama denganku!” gumamnya. “Mereka tidak tahu bahwa di
luar sana banyak kebebasan yang bisa didapatkan, juga pengalaman-pengalaman
yang mengagumkan.” tambahnya lalu kembali menatap ke luar. Dan setelah
memastikan tidak ada yang melihatnya, gadis kecil itu lalu berjinjit jalan
dengan cepat sambil membawa tas ransel yang besarnya hampir menyamainya. Ia
begitu gugup dengan perbuatannya sekarang dan takut bila ia akan tertangkap
basah oleh pengawas panti asuhan seperti tempo hari, karena itulah kali ini ia
harus lebih berhati-hati karena tidak mau rencananya yang selama ini ia buat
menjadi sia-sia. Jauh-jauh hari ia sudah mempersiapkan perbekalan, ada beberapa
barang yang sengaja ia ambil diam-diam, seperti alat kemah serta
perlengkapannya. Tak lupa ia juga membawa makanan yang ia jejalkan di dalam
tasnya.
Gadis kecil itu berlari
semakin kencang setelah melewati koridor panjang dengan dindingnya yang bercat
putih tanpa noda. Ia mencari tangga kayu yang ia sembunyikan di semak-semak
kemarin sore. Tak lama setelah ia menemukan tangga kayu itu, ia mengangkatnya
dengan sulit dan meletakkannya sangat dekat dengan tembok yang dipenuhi
lumut-lumut hijau. Ini satu-satunya jalan yang bisa membawanya keluar dari
tempat ini, dan ia sudah tahu pasti akan sia-sia bila ia menaiki pagar utama
panti asuhan. Pagar itu terbuat dari besi yang dibentuk seperti teralis yang
disusun dengan rapi dan berujung runcing serupa tombak, di setiap bagiannya
dihiasi bunga-bunga kecil yang kaku. Pagar itu begitu tinggi untuk anak
seumurnya, apalagi dengan ujung-ujung runcingnya yang bisa membuatnya terluka.
Tangga kayu itu tak terlihat
begitu kokoh. Dua balok kayu yang panjang dengan balok-balok kecil di tengahnya
siap membantunya keluar. “Kuharap ini cukup kuat untuk menahan badanku.”
serunya dalam hati dengan wajah yang gugup. Kakinya bergetar tak keruan saat
menaiki tangga kayu itu, ia bergerak sangat pelan sambil menatap ke kanan dan
kiri. Dan saat kakinya semakin naik ke atas, tiba-tiba gadis kecil itu berteriak
dengan spontan, ia hampir terjatuh dari tangga itu karena ada balok kayu yang
patah dan membuatnya ketakutan setengah mati. Keringat dingin mengucur di
keningnya, sekali lagi ia menatap ke segala arah, mencoba menangkap sosok pengawas
panti asuhan tapi tak ada, ia khawatir bila suaranya tadi terdengar
orang-orang. Buru-buru ia melempar tas ranselnya ke bawah tembok lalu menarik
napas panjang-panjang, karena saat itu mau tak mau ia harus meloncat dari atas sana.
Sambil menangkupkan kedua tangan di dadanya, gadis kecil itu akhirnya
memberanikan diri untuk loncat tepat di atas tas ransel dan menghasilkan suara
gedebuk yang membuatnya kesakitan. Tapi saat itu ia tahu tak seharusnya ia
memberikan waktu untuk merasakan sakit itu. Ia menyambar tas ranselnya lalu buru-buru
memasangnya di punggungnya yang kecil dan berjalan menjauhi tempat itu sambil
tersenyum kegirangan.
Sekarang ia bebas, tak ada
lagi orang yang akan mengasingkannya, mencibir atau memarahinya. Tak ada lagi
waktu yang perlu ia habiskan untuk mendengarkan omelan-omelan pengawas panti
asuhan yang selalu menyalahkan dan tidak pernah mau mendengar penjelasannya. Kini
gadis kecil itu berjalan di jalan setapak yang lembab dan kedua sisinya diapit
oleh pepeohonan dan semak belukar yang sangat lebat.
Kicauan burung mulai
terdengar dan seolah-olah beradu dengan suara serangga-serangga kayu yang tak
kalah nyaring. Jalan lurus terus ia tapaki, sampai ia pada sebuah jalan yang
menurun. Sayangnya jalan itu telah rusak karena tanah longsor. Ada papan
pemberitahuan yang tertancap di depannya. Bunyinya:
JALAN RUSAK! HARAP MEMUTAR KE ARAH PANTI
ASUHAN!
Gadis kecil itu mendengus kesal,
karena mau tak mau ia harus kembali melewati panti asuhan di belakang sana,
satu-satunya jalan yang ia tahu hanya jalan ini. Masih kuat menempel di
benaknya saat para anak panti termasuk dirinya piknik ke hutan dengan melewati
jalan ini. Para donatur dan tamu-tamu pun biasanya lewat jalan ini datangnya
(ia tahu karena sering mengintip dari celah-celah pagar panti asuhan). Sia-sia
saja ia berusaha dengan baik mengingat jalan ini karena semuanya tak ada
artinya bila ia memang harus kembali memutar ke belakang sana.
Gadis kecil itu berbalik,
menatap bangunan panti asuhan yang sangat kecil bila diamati dari tempatnya
berdiri. Ia jengkel, kenapa harus rusaknya sekarang, saat aku hendak melarikan
diri dari tempat itu, gumamnya. Ia melemparkan tas ranselnya dan duduk
diatasnya sambil mendesah. Awan putih bergulung-gulung diatas langit yang biru
terang. Sesekali angin semilir membuat atmosfir di sekelilingnya sejuk dan
segar. Sekonyok-koyong suara gemerisik daun membuatnya kaget. Buru-buru ia
menoleh ke arah suara itu. Ternyata suara itu hasil gesekan antara tumpukan
daun-daun kering dengan seekor kadal. Warna tubuhnya mengkilat dan bila
diperhatikan terus menerus akan membuat silau mata yang memandangnya. Kadal itu
buru-buru lari ke semak-semak di belakang gadis itu. lega rasanya ia tahu itu
hanya sekedar kadal. Lalu gadis kecil itu beranjak dan mencoba mencari kadal
tadi.
Saat ia mencoba menembus
semak-semak yang dilewati kadal tadi, seruas jalan kecil yang diapit
semak-semak tinggi terbuka. Seolah-olah mempersilahkannya untuk melewati jalan
itu. Gadis kecil itu terdiam. Mencoba mengamati jalan itu. Dilihat-lihat jalan
ini ada bukan karena hewan buas yang melintas, karena ada semak-semak yang
kering dan seperti ditebas dengan benda tajam, dan itu sudah pasti murni buatan
manusia. Mungkin penduduk desa di bawah sana yang membuatnya, pikirnya sambil
tersenyum. Tak berpikir panjang lagi, gadis kecil itu mengambil tas ranselnya
lalu mengucapkan doa pada tuhan untuk menjaganya saat ia melintasi jalan kecil
yang ia sendiri tak tahu ujungnya kemana.
Gadis kecil itu tak tahu
hanya ada dua jalan yang ada di bukit itu, satu menuju ke panti asuhan, dan
satunya lagi jalan menuju desa bawah yang kebetulan telah rusak terkena longsor
itu. ia memang kurang begitu mengenal tempat ini karena sebelumnya ia tinggal
di daerah yang sangat jauh dari tempat ini bersama pamannya. Namun setelah
pamannya meninggal, ia buru-buru dibawa ke panti asuhan yang langsung
membuatnya kecewa.Tak butuh waktu yang lama baginya untuk tahu pasti apa yang
sebenarnya ia inginkan. Ia tak mau seperti
teman-temannya dipanti asuhan yang berlama-lama tinggal di tempat itu dengan
berharap ada orang tua dermawan yang mau mengangkatnya sebagai seorang anak.
Tak ada ketakutan karena
seorang diri yang ia rasakan, ia begitu bangga karena pelariannya sejauh ini berhasil
dengan sukses, ia mengacungkan jempolnya untuk kesuksesannya ini. Matahari
mulai bersinar sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi tidak untuk gadis kecil
ini. Kini dengan matahari yang sama ia menjalani hari-harinya yang berbeda dan
menyenangkan karena kebebasan ada di tangannya. Dengan tekad yang kuat serta
rasa ingin tahunya yang besar, dan tak memperdulikan arah yang benar, gadis
kecil itu berjalan semakin jauh dari panti asuhan. Dipunggungnya terpasang tas
ransel besar yang berisi perlengkapannya, dan gadis kecil itu memulai
petualangannya mencari mimpinya dalam bentuk yang nyata.
BERSAMBUNG ....
Selasa, 10 Januari 2012
Karya-karyanyaMJ
Oke, ngga ada salahnya juga kan aku nampangin gambar yang aku bikin, yah walau masih jauh dari kata "bagus" apalagi "sempurna" Rada minder sih dengan senior-senior sesama ilustrator atau bahkan ada junior yang karyanya melibihi aku yang udah tua gne, hehhehe .... tapi yah ... ngga papa deh buat disimpin, toh ini blog juga belum ada yg ngeliat. lagian ada gunanya juga biar nambahan entri ... oke ... mohon ditengok yah, dan klo mau dikasih kritik juga ngga apa-apa, itu malah semakin membantu jadi lebih baik malah .... selamat siang !!! ...
Ngga perlu ditebak, yang doyan drama Korea juga tau ini siapa; TENG !!!! .... oke 100 buat kamu yang nyebutit atau cuman bergumam "Song Hye Kyo". Bener kok ini Song Hye Kyo. Sebenarnya ini gambar belum selese, berhubung ada noda yang cukup mengganggu di kertas aslinya, jadinya tertunda deh. ^_^
Ini Kim Sun Ah, dari drama yang tahun lalu tayang, judulnya "Scent of a Woman". Gambar ini kugambar mungkin pertengahan tahun lalu sebelum serialnya tayang. Sebenarnya kalau Kim Sun Ah yang main, ekspaktasiku pasti tinggi, tapi berhubung aku kurang suka dengan endingnya dan alur ceritanya yang berkesan lambat jadi "My Name Is Kim Sam Soon" tetep diperingkat atas drama korea yang paling kusukai.
Larut Malam
Ngga larut-larut malam amat sih, cuman yah ... diatas jam 9, jadi menurutku udah menjelang tengah malam. walaupun tidak semua orang yang setuju dengan statement ini tapi tak apalah .... toh, semua orang memang punya cara pandang yang berbeda-beda. masalahnya begini; kalau semua orang semua pola pikirnya sama apa ngga ngerasa bosan ? yah pastilah bosan. Terkadang sesuatu yang berbeda itu bisa membuat kita terpancing untuk berpikir dari sudut pandang yang baru, atau setidaknya dari sudut pandang yang sebelumnya belum pernah kita coba, dan siapa tahu dengan kita menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang kita bisa menjadi orang yang tak bersifat serampangan.
Aku bukannya sok tahu sih, yah ... pokoknya kita dipukul rata semua aja, toh ngga ada orang yang sempurna, negatif-positif pasti ada ....
O, iya ... El Reloj, lagu yang akhir-akhir ini lagi demen banget buat aku dengernya, sebenarnya kedua lagu ini kata-katanya sama, cuman diaransemen berbeda sehingga menjadi dua lagu yang berbeda, lagu pertama dinyanyikan oleh "Luis Miguel" (kayanya sih ini lagu nadanya versi asli soalnya, aku banyak denger lagu ini dinyanyikan oleh banyak orang dengan nada yang sama). Lagu kedua dinyanyikan oleh "Big Mama" (bukan judul film loh), ini nama dari duet penyanyi senior asal korea. Terlepas dari berbedaan aransemen yang keduanya memiliki nilai lebih, sejujurnya aku lebih suka lagu yang dibawain oleh "Big Mama" kesannya enak diajak goyang dan kadang bikin kita seger dengernya ^_^ ....
Jangan lupa didenger yah ...0_0...
Selamat malam .....
Langganan:
Postingan (Atom)